Minggu, 11 November 2007

FRAUD DALAM DUNIA IT

FRAUD
DASAR PEMIKIRAN TENTANG FRAUD
Etika dan fraud
LAPORAN HASIL PENELITIANETIKA DAN KEWASPADAAN TERHADAP FRAUD DALAM PEMERINTAHAN: SUATU UPAYA MEMBANGUN ETIKA UNTUK MENCEGAH FRAUD PADA PEMERINTAH DAERAH

Fraud merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang-orang dari dalam dan atau luar organisasi, dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan atau kelompoknya yang secara langsung merugikan pihak lain.Otonomi daerah yang mengakibatkan pendelegasian wewenang pemerintah pusat banyak dilimpahkan ke daerah kabupaten/kota juga berpotensi memindahkan fraud dari pusat ke daerah. Penelitian ini menekankan pada pengidentifikasian potensi fraud dan pengaturan etika pada pemerintah daerah.

Upaya-upaya hukum yang telah dilakukan selama ini nampaknya kurang membawa hasil. Agenda dan tindakan yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki keadaan secara keseluruhan belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan yang signifikan. Efektivitas ketentuan hukum tidak dapat dicapai apabila tidak didukung norma dan nilai etika dari pihak terkait. Dalam konteks organisasi, nilai etika dan moral perorangan harus muncul sebagai aturan etika organisasi yang telah terkodifikasi sebagai kode etik dan kelengkapannya .Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum intensitas terjadinya fraud pada aspek perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan kegiatan, dan pengawasan berada dalam katagori “pernah terjadi fraud”. Kegiatan yang dianggap signifikan dalam intensitas kemunculan fraud-nya adalah meninggikan anggaran dalam pengajuan kegiatan serta menggunakan barang milik negara untuk kepentingan pribadi.

Demikian juga bidang kegiatan yang teridentifikasi dalam kategori “sering“ terjadi tindakan fraud yaitu bidang perijinan, pengadaan barang dan jasa, pemilihan kepala daerah, kepegawaian, pemeliharaan fasilitas umum, penerimaan pendapatan daerah, pengawasan, dan pertanggungjawaban kepala daerah.Mayoritas responden menjawab secara normatif bahwa tindakan yang diidentifikasi sebagai fraud adalah tindakan yang tidak wajar. Namun tetap tercetus pendapat yang menyatakan bahwa beberapa tindakan fraud dianggap wajar. Tindakan yang dianggap wajar adalah penyediaan berbagai fasilitas bagi pemeriksa, menerima komisi dalam pengadaan barang/jasa, meninggikan anggaran dalam pengajuan kegiatan, penyediaan fasilitas oleh pihak tertentu dalam penyusunan maupun pembahasan kebijakan, lobi/negosiasi dengan memberikan imbalan demi kelangsungan hidup organisasi.

Nilai yang dianut tersebut juga tercermin pada sikap mayoritas responden yang secara normatif cenderung “melarang” tindakan fraud dibandingkan melaporkan, meski juga muncul sikap tidak peduli bahkan mendukung fraud. Tindakan yang didukung adalah penyediaan fasilitas dalam penyusunan maupun pembahasan kebijakan dan penyediaan berbagai fasillitas bagi pemeriksa. Sedangkan ketidakpedulian muncul pada tindakan lobi/negosiasi dengan memberikan imbalan tertentu untuk menentukan formasi eselon dalam organisasi, penggunaan barang milik negara untuk kepentingan pribadi, menerima uang jasa dalam pelaksanaan kegiatan tertentu, mengikuti pendidikan dinas dengan memberikan imbalan tertentu kepada pejabat yang berwenang, dan menerima komisi dalam pengadaan barang/jasa.

Pada umumnya terdapat mayoritas persetujuan untuk membangun suatu standar etika terhadap berbagai kegiatan yang rawan terjadi fraud dengan harapan dapat mencegah atau mengurangi kejadian tersebut. Namun terdapat beberapa kegiatan yang tidak disetujui untuk dibuat aturan etikanya, yaitu 1) Pengaturan hubungan antara pihak terkait dalam penyusunan / pembahasan kebijakan dan prosedur, khususnya dengan pihak swasta/sponsor;2) Pengaturan hubungan pejabat berwenang dalam anggaran (pemda) dengan pihak ketiga (swasta);3) Pemberian reward dan punishment;4) Pengaturan hubungan pejabat yang berwenang dalam penerimaan pegawai dengan calon pegawai, penyelenggara ujian, dan pimpinan unit pengguna;5) Pengaturan hubungan antara pihak terkait (bagian kepegawaian, baperjakat, pegawai bersangkutan, dan lain-lain) dalam penempatan, mutasi, rotasi, dan promosi pegawai;6) Pengaturan transparansi kebijakan dalam penerimaan pegawai dan proses penempatan, mutasi, rotasi, dan promosi pegawai;7) Pengaturan hubungan pejabat berwenang dalam pengadaan barang/jasa dengan pihak ketiga;8) Pengaturan tanggung jawab evaluator/auditor terhadap fasilitas yang diberikan oleh pihak yang dievaluasi.Walaupun secara normatif, terdapat persetujuan bahwa kegiatan yang dikategorikan fraud dianggap tidak wajar dan dilarang, intensitas munculnya pengecualian pengaturan terhadap hal-hal tersebut di atas mengindikasikan bahwa para birokrat masih resisten terhadap upaya perbaikan dalam rangka menuju organisasi publik yang beretika.

Hasil wawancara dengan responden menunjukkan perlunya aturan etika yang mengatur hubungan antara pimpinan dan bawahan, keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pengawasan, serta penerapan reward dan punishment sebagai motivator terwujudnya sikap yang beretika. Sedangkan mengenai lingkup etika, mayoritas responden menghendaki hanya ada satu aturan etika pada pemerintah daerah tertentu dengan alasan agar tercipta keseragaman nilai. Namun responden tidak menutup kemungkinan untuk melakukan spesifikasi aturan perilaku sesuai dengan keunikan nilai masing-masing unit kerja/dinas/badan.

Dalam rangka lebih mempercepat terwujudnya standar etika bagi organisasi publik disarankan agar :1) Pemerintah Pusat melalui Departemen Dalam Negeri dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara membuat suatu kerangka standar etika yang berlaku secara nasional, kemudian pemerintah daerah mengembangkannya sendiri sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing;2) Kerangka standar etika tersebut harus mengutamakan pengaturan pada kegiatan yang berkategori “sering terjadi” fraud, yaitu perijinan, pengadaan barang dan jasa, pemilihan kepala daerah, kepegawaian, pemeliharaan fasilitas umum, penerimaan pendapatan daerah, pengawasan, dan pertanggungjawaban kepala daerah;3) Dalam membuat standar etika perlu mempertimbangkan kegiatan yang memiliki intensitas terjadinya fraud cukup tinggi pada masing-masing aspek fungsi manajemen yaitu perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan kegiatan, dan pengawasan;4) Dalam kerangka standar etika, perlu dicantumkan butir mengenai keteladanan oleh pimpinan organisasi dalam setiap langkahnya sebagai syarat mutlak efektivitas berjalannya standar etika.

CONTOH KECIL CYBER FRAUD DALAM IT

Desain Sistem Proteksi Jaringan Line Telepon terhadap Clip on Fraud
Fraudster secara sengaja melakukan kecurangan-kecurangan untuk mendapatkan berbagai fasilitas yang disediakan oleh penyedia jasa telekomunikasi. Mereka melakukan dengan memanfaatkan kelemahan teknis sistem atau perangkat telekomunikasi itu sendiri, kelemahan manajemen atau pengelola telekomunikasi. Sayangnya, problem dan penyebabnya belum banyak diketahui oleh pihak pengelola maupun pengguna, kecuali mereka (yang menjadi korban fraud) harus menerima tanggungan rekening telepon yang besar. Contoh kasus yang paling banyak terjadi disekitar kita adalah pencurian pulsa dengan cara memparalel pair kabel telepon (cip on fraud).

Tugas akhir ini merupakan penyelesaian alternatif dari beberapa konsep penyelesaian terhadap kasus pencurian pulsa lewat paralel kabel telepon (subscribe) yang pernah ada. Dengan menggunakan asumsi-asumsi teori dan empiris, dibangun beberapa asumsi cara/proses penggagalan terhadap kasus clip on fraud.

Disinilah, kemudian didesain sebuah sistem proteksi jaringan line telepon terhadap clip on fraud dengan menggunakan pembacaan taraf-taraf tegangan. Dengan diuji dan dianalisis secara teoritis sekaligus dibantu software CM2000 diharapkan desain yang dibangun memiliki perfoma yang baik dan aplikatif.

Fraud Pada Credit Card
Mulai saat ini para pelaku kejahatan kartu kredit di Indonesia harus berpikir 100 kali sebelum melakukan perbuatan tak terpuji itu.
Mengapa? Sebab, aparat penegak hukum di negeri kita saat ini sudah tidak basa-basi lagi dalam memberangus praktik kejahatan kartu kredit yang memang semakin merajalela. Pengadilan Negeri Gianyar, Bali, pada 6 Juni lalu baru saja menjatuhkan putusan pidana 2,8 tahun atas Beny Wong, seorang terdakwa pemalsu kartu kredit.

Sebelumnya, terdakwa yang sama sudah mendapatkan hukuman tiga tahun oleh Pengadilan Negeri Denpasar pada 14 September 2004. Sehingga, secara keseluruhan pemalsu kartu kredit itu harus mendekam di bui selama 5 tahun 8 bulan atas kejahatan perbankan yang sudah dilakukannya.

Putusan itu boleh jadi merupakan angin segar bagi upaya pemberantasan kejahatan kartu kredit di Indonesia. Hukuman pidana 5 tahun 8 bulan merupakan putusan tertinggi dalam sejarah kartu kredit di Indonesia sejak industri itu diperkenalkan pertama kali di Tanah Air sekitar 1985 silam.

Sebelum ini, hukuman untuk pelaku pemalsuan kartu kredit paling tinggi adalah empat tahun, terakhir diputus di Pengadilan Bandung pada September tahun lalu.
"Semoga pemecahan rekor yang dihasilkan oleh aparat penegak hukum di Bali dapat menjadi tonggak penegakan hukum di bidang kartu kredit dan dapat menularkannya ke daerah-daerah lainnya," ujar Dodit W. Probojakti, koordinator manajemen risiko Asosiasi Kartu Kredit Indonesia - forum yang mewadahi para penerbit kartu kredit di Tanah Air.

Semakin galaknya hukum kejahatan kartu kredit tentu merupakan buah dari upaya semua pihak terkait dengan Criminal Justice System di Indonesia. Diharapkan, kondisi itu akan menimbukan efek jera bagi para pelaku pemalsuan kartu kredit di Indonesia, sekaligus meminimalkan kejahatan serupa di masa mendatang. Belakangan, AKKI, Bank Indonesia , dan aparat penegak hukum terus mempererat kerja sama untuk menekan praktik kejahatan kartu kredit.

Kronologis Kisah sukses pengungkapan kejahatan kartu kredit yang dilakukan oleh Beny Wong tentu tak lepas dari kerja sama pihak-pihak terkait.
Polsek Sukawati, kabupaten Gianyar agaknya perlu secara khusus mendapat acungan jempol atas kerja kerasnya itu. Pengusutan kasus itu juga melibatkan Robert Salusu dari Citibank sebagai pelapor, I.Nyoman Tomi Suwarna dari Diners Club Int'l dan I. Nyoman Nara Atmika dari BNI Card Centre, keduanya bertindak sebagai saksi ahli. Keberhasilan pengungkapan perkara kejahatan kartu kredit juga tidak terlepas dari kejelian merchant, dalam hal ini saksi merchant adalah Wayan Eka dari Hardy's Batubulan.

Kisah penangkapan Beny Wong bermula saat pria itu melakukan transaksi di Hardy's Supermarket Batubulan Gianyar dengan menggunakan kartu kredit Citibank bernomor 4541 7900 1413 0605 atas nama Wahyu Nugroho. Saat itu transaksi berhasil dilakukan.
Namun, pada tanggal yang sama, Beny Wong kembali berbelanja di Hardy's Supermarket Sanur. Baru pada saat itu terdakwa yang menggunakan empat kartu kredit palsu. Barang yang dipalsukan terdakwa adalah Mastercard dari BNI, Visa dari Standard Cartered Bank, serta Mastercard dan Visa dari Citibank.

Karena melakukan transaksi di dua tempat yang berbeda, terdakwa kemudian harus menjalani dua kali proses persidangan, yaitu di Pengadilan Negeri Denpasar dan Gianyar Transaksi yang dilakukan Beny Wong di Gianyar dilaporkan ke POLSEK Sukawati Gianyar pada 15 Juli 2004. Hasilnya, pada 14 September 2004 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang dipimpin oleh Hakim Ketua Arif Supratman SH memberikan "hadiah" kepada terdakwa berupa putusan tiga tahun. Semula, dalam proses persidangan itu jaksa mengajukan tuntutan pidana empat tahun kepada terdakwa sesuai pasal 263 KUHP yang berbunyi, Barang siapa membuat surat palsu..., karena pemalsuan tersebut, dipidana penjara paling lama enam tahun.. "Saudara terdakwa punya kesempatan seminggu untuk banding," ujar hakim saat itu. Namun, baik terdakwa maupun jaksa saat itu langsung menerima putusan hakim.

Sembilan bulan kemudian, tepatnya 6 Juni 2005, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gianyar yang dipimpin oleh Hakim Ketua Gede Ginarsa dan Jaksa Penuntut Umum Ida Ayu Surasmi mengetukkan palu untuk terdakwa yang sama dengan putusan 2 tahun 8 bulan. Secara keseluruhan, hukuman atas terdakwa pemalsuan kartu kredit di Bali itu adalah 5 tahun 8 bulan. Menurut Dodit, dalam setahun terakhir terdapat sekitar 15 kasus pemalsuan kartu kredit yang terungkap. "Masa hukumannya berkisar 1 tahun sampai 4 tahun."
Tetapi, yang tidak kalah penting, tentu upaya pengungkapan kasus-kasus pemalsuan kartu kredit harus terus dikembangkan untuk mengetahui kemungkinan adanya keterlibatan jaringan yang lebih luas.

Pekerjaan rumah Di tengah pertumbuhan industri kartu kredit yang semakin deras, upaya pemberantasan praktik kejahatan kartu kredit memang menjadi suatu keharusan. Selama ini Indonesia sudah cukup dikenal sebagai sarang kejahatan melalui Internet (cyber fraud). Meski tidak setinggi di Malaysia, namun praktik pemalsuan kartu kredit di Indonesia sudah cukup memprihatinkan.

Menurut catatan bank sentral, modus fraud menggunakan kartu kredit selama tahun lalu naik menjadi 27 kasus dibanding tahun sebelumnya sebanyak 13 kasus. Angka itu merupakan yang tertinggi dibanding modus lainnya seperti fraud application, perusahaan fiktif, maupun pembajakan.

Tak saja untuk melindungi konsumen, upaya pemberantasan kejahatan kartu kredit tentu juga ditujukan untuk melindungi lembaga penerbit kartu, negara, termasuk masyarakat sebagai pengguna layanan tersebut.
Menurut catatan AKKI, jumlah kartu kredit yang beredar di Indonesia saat ini mencapai 5.8 juta kartu, dengan total kredit sebesar Rp 11 triliun-Rp14 triliun dengan tingkat pertumbuhan sebesar 20% hingga 30% per tahun. Upaya pemberantasan kejahatan kartu kredit saja tentu tidak cukup. Masih banyak hal yang perlu dibenahi di industri kartu kredit, yang notabene menjadi tanggung jawab seluruh stakeholder.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) ten-tunya mempunyai catatan khusus mengenai seberapa besar keluhan konsumen atas layanan kartu kredit, mulai dari praktik debt collector, bunga berbunga yang mencekik nasabah, hingga meningkatnya angka kredit macet. "Sebagian besar nasabah yang datang ke YLKI mengaku tidak bisa melunasi utang kartu kreditnya karena praktik bunga berbunga," ujar ketua umum YLKI, Indah Sukmaningsih pada suatu ketika.

Selain menggenjot pertumbuhan kartu, upaya edukasi pasar (market education) tentu tidak boleh dilupakan oleh lembaga penerbit kartu kredit sehingga masyarakat dapat menggunakan kartu kreditnya secara bijak. Yang tidak kalah penting, sebagian negara saat ini sudah mulai memberlakukan standar EMV (Euro Mastercard Visa Payment System) compliance untuk menekan tingginya angka fraud. Malaysia sudah memberlakukan standar itu sejak tahun lalu.
Di Indonesia, sebagian penerbit memang sudah memulai langkah migrasi ke standar EMV. Namun, untuk mengingatkan penerbit agar tidak lupa mengganti kartunya dengan kartu berbasis chip, koordinasi dari bank sentral dan asosiasi ternyata masih ditunggu-tunggu. Di sisi lain, BI justru enggan mengeluarkan aturan khusus untuk menggiring bank menggunakan standar EMV. "Sebagai upaya meningkatkan keamanan kartu kredit sebagai alat bayar, kami sangat mendukung penggunaan kartu chip," ujar Dyah Nastiti, Direktur Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran, pekan lalu.

Akan tetapi, sebagai regulator BI tidak dapat memaksa penggunaan teknologi tertentu karena Indonesia menganut prinsip open technology. Bagi lembaga penerbit, kelambatan migrasi ke standar EMV hanya akan menyebabkan institusinya harus menanggung kerugian jika terjadi fraud-terkait dengan aturan shift compliance yang sudah mulai diberlakukan secara internasional pada 1 Januari 2006. Untuk yang ini mudah-mudahan tidak ada masalah lagi karena perbankan menyatakan kesiapannya untuk mengganti seluruh alat gesek EDC (Electronic Data Capture) sehingga sudah seluruhnya berbasis EMV pada akhir tahun ini.

Akan tetapi, nasabah tentu juga berkepentingan dengan standar EMV tersebut. Beberapa konsumen sudah mulai mengeluhkan kartu kreditnya ditolak di Malaysia karena belum menggunakan chip. Ini tentu PR penting bagi pelaku industri kartu kredit di Tanah Air.

Tidak ada komentar: